Breaking News

Akademisi dan Masyarakat Sipil Lawan Praktik Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat

JAKARTA (02/08) || jurnalismerahputih.com - Persoalan kasus-kasus rekayasa dalam bentuk pembungkaman kritik dan kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan marak terjadi di Indonesia. Beberapa kasus pembungkaman kritik yang berujung kepada jeratan pidana, menunjukkan bahwa kritik dan/atau kebebasan berpendapat di Indonesia belum terjamin. Kondisi demikian bukan saja menyasar rakyat biasa, namun juga kepada para aktivis, pejuang anti korupsi, dan akdemisi yang menyuarakan kebenaran.

Mensikapi permasalahan tersebut, 9 (sembilan) lembaga yang terdiri dari: IM57+Institute, THEMIS Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lokataru Foundation, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LBH PP Muhammadiyah), Komisi Untuk Orang Hilang dan Kekerasan Tindak Kekerasan (KontraS), Indrayana Centre For Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm, dan Kemitraan Partnership, mengadakan diskusi publik yang berjudul "Penguatan Solidaritas Masyarakat Sipil di Hadapan Penguasa: Potret Pembungkaman Kritik dan Praktik Kriminalisasi di Indonesia”  yang diadakan secara offline di Ruangan Lantai 1 YLBHI beralamat di Jl. Diponegoro No. 74, Menteng, Jakarta Pusat 10320 dan online melalui zoom meeting.

Hadir sebagai narasumber yaitu: Fatia Maulidiyanti, Zainal Arifin Mochtar, Arif Maulana, Haris Azhar, dan Denny Indrayana serta Mochamad Praswad Nugraha dari IM57+ Institute sebagai host.

Diawal diskusi Fatia Maulidiyanti bercerita dan berbagi pengalaman terkait pentingnya penguatan peran aktivis perempuan dalam menyuarakan kebebasan berpendapat, termasuk menyampaikan kritik terhadap penguasa.

“Saat ini kita semakin takut untuk menyuarakan kebenaran. Semua kebijakan yang dibuat negara hanya menguntungkan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan tertentu. Sehingga, pembangunan hanya menguntungkan oligarki dan/atau kapitalis. Arti demokrasi disempitkan, yaitu hanya berada di bilik suara. Padahal esensi penting demokrasi adalah menjamin rakyat dalam menjalankan hak untuk berprotes, memberikan pendapat, maupun hak untuk berkumpul”, pungkas sang aktivis perempuan dan pegiat HAM ini.

Zainal Arifin Mochtar menambahkan, bahwa selama kita tidak berani menyatakan kritik untuk negara sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, maka kita telah membiarkan proses penegakan hukum berjalan tidak berimbang.  

“Dalam konteks demokrasi, tidak boleh ada pemerintah yang dibentuk tanpa penguasa sebenarnya yaitu adalah rakyat sendiri. Ini yang merupakan makna penting dari government by concept. Perlu partisipasi masyarakat yang terlibat dalam setiap pengambilan keputusan, misalnya dalam pembentukan undang-undang yang harus meaningful participation", ujar Akademisi Hukum Tata Negara ini.

Arif Maulana juga menambahkan, perlu adanya solidaritas antara civil society serta bagi mereka yang berada pada garis perjuangan kebebasan berpendapat, yang menggunakan kritik sebagai media partisipasi dalam membangun negara. 

“ Kriminalisasi terjadi ketika masyarakat sedang memperjuangkan hak-haknya karena sedang ada persoalan serius. Misalnya terdapat beberapa ketentuan dalam KUHP yang sering digunakan oleh penguasa untuk menjerat aktivis publik. Hukum seharusnya menjadi alat untuk membatasi kekuasaan pemerintah, namun saat ini hukum menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan, sehingga dibutuhkan reformasi terhadap para aparat penegak hukum”, ucap Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI. 

Sementara, Haris Azhar yang merupakan Aktivis HAM dan Advokat juga mempertegas bahwa kriminalisasi selalu menjadi senjata untuk membungkam suara masyarakat. Namun disisi lain masyarakat sipil sekarang sudah mulai konstruktif, sehingga hal ini semakin memperkuat keyakinan bahwa kritik dalam negara demokrasi harus dipahami sebagai bentuk partisipasi membangun negara. 

“ Masyarakat perlu sosok yang berani untuk mengungkapkan kebenaran yang merepresentasikan kepentingan kolektif. Ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Denny Indrayana dalam memperjuangkan haknya. Sesungguhnya, masyarakat sipil menjadi sumber dari jembatan untuk berkomunikasi menyampaikan fakta kondisi bagi pengambil kebijakan publik.”

Setiap upaya advokasi publik adalah bagian dari moralitas dalam membangun negara. Hal ini yang meyakinkan Denny Indrayana, Senior Partner INTEGRITY Law Firm dan Guru Besar Hukum Tata Negara, di tengah situasi menghadapi Pemilu 2024, berani mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelematkan penyelenggaran Pemilu 2024.

“Saat ini Demokrasi telah dibajak oleh Duitokrasi (daulat duit) yang telah menguasai elemen penting negara mulai dari lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Penting untuk mempunyai pemimpin yang paham bahwa kritik adalah bagian dari dunia politisi dan harus menilai politik kritik itu adalah obat kuat untuk bekerja. Bukan melihat kritik sebagai perbuatan pidana yang kemudian di kriminalisasi, melainkan sebagai bagian dari masukan untuk meningkatkan kualitas sebagai penyelenggara negara.”

Selanjutnya, pada akhir diskusi Mochamad Praswad Nugraha sebagai host memaparkan 4 (empat) hal sebagai pernyataan sikap yang didapat dari diskusi kali ini, yaitu:
1. Kebebasan bicara dan perlindungan bagi pelapor merupakan pilar utama yang berkontribusi secara positif dalam mendukung pembongkaran korupsi dan demokrasi. 

2. Buktikan komitmen Presiden untuk bersikap netral serta penjagaan atas demokrasi dengan menghentikan segala kriminalisasi terhadap aktivis pro demokrasi dan anti korupsi di seluruh Indonesia.

3. Tunjukan netralitas aparat penegak hukum dengan melakukan proses penegakan hukum yang menolak kriminalisasi terhadap kebebasan bicara. 

4. Mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk merapatkan barisan dan bergerak sebagai satu kesatuan menghadapi berbagai upaya kriminalisasi.[red/jmp]
© Copyright 2022 - JURNALIS MERAH PUTIH