JAKARTA (08/08) || jurnalismerahputih.com - Sejak perhelatan Pemilu 2024 dimulai, beberapa aktivis yang dulunya getol sekali melawan rezim militer Orde Baru, Soeharto dan kroninya, tiba-tiba bersuara lantang mendukung Prabowo. Prabowo adalah menantu Soeharto, Presiden ORBA. Sungguh sangat ironis!
Demikian dalam rilis keterangan tertulis singkatnya, KOMPERA (Komite Perlawanan Rakyat) menyebutkan. Jakarta (08/08)
Lebih lanjut, kemuka Petrus Hariyanto menuturkan, salah seorang aktivis itu adalah Budiman Soedjatmiko yang menemui Prabowo dan akhirnya menyatakan bahwa isu penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1998 harus diakhiri.
Barang tentu, ungkapnya menilai Pernyataan Budiman ini tentu tidak memiliki landasan legitimasinya, karena tidak mewakili korban yang hilang dan juga keluarga korban serta langkah langkah hukum dan politik yang sudah dilakukan oleh DPR dan Pemerintah selama ini. Ini semata-mata motivasi pribadi Budiman saja, timpalnya menyampaikan
Ditambah, Beberapa hari yang lalu, muncul pemberitaan di koran bahwa Aan Rusdianto dan Mugianto Sipin mengundang keluarga korban penculikan 1998 melakukan pertemuan tertutup di sebuah hotel mewah dengan dua orang elit Partai Gerindra.
" Publik tidak mengetahui apa isi pertemuan itu dan apa motivasi pribadi kedua mantan aktivis. Dan ternyata tidak mencerminkan aspirasi kepentingan korban penculikan keseluruhan dan malah mencederai proses perjuangan HAM yang sudah berjalan lama," ujar Petrus Hariyanto menuturkan
Menurutnya berpandangan masalah pelanggaran berat HAM masa lalu dan masa Reformasi belum tuntas diselesaikan dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi.
" Penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1998 juga belum diselesaikan Jokowi meskipun berjanji untuk mencari Thukul dan kawan-kawannya. Semua hanya omong kosong!," imbuhnya
Ironinya, mereka yang pernah diculik bersama kawan-kawannya yang belum kembali sampai sekarang, justru berdamai dengan orang yang bertanggungjawab agar proses penculikan diakhiri dengan cara barter politik.
" Mereka menutup mata atas negara yang membiarkan pelaku penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1998 bebas tanpa tersentuh," tuturnya
Atas semua kejadian itu, KomPeRa menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Menolak dan melawan rezim militer Neo ORBA (Neo Otoritarian) dan segelintir aktivis pecundang sebagai kaki tangannya.
2. Meminta DPR RI untuk menuntaskan rekomendasi DPR RI Tahun 2009 terkait kasus penghilangan paksa.
3. Meminta Pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa yang telah di tandatangani oleh Menteri Luar Negri Indonesia di New York pada tahun 2010.
KomPeRa menyatakan bahwa aktivis yang berdamai dengan rezim militer neo Orde Baru (Neo Otoritarian) tidak mewakili kepentingan korban penculikan 1998 keseluruhan dan keluarganya. KomPeRa mendesak pemerintah agar segera menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM yang dilakukan secara yudisial oleh negara dan bukan dengan cara-cara provokatif meminjam tangan segelintir aktivis yang bertindak tidak etis dan bermoral pecundang.
Jakarta, 08 Agustus 2024
KOMPERA
(Komite Perlawanan Rakyat)
[red/jmp]
Social Header