Breaking News

Koalisi Masyarakat Sipil: Wacana Pemaafan Koruptor adalah Illegal

JAKARTA (24/12) || jurnalismerahputih.com - Pasang surut upaya penindakan kasus-kasus korupsi di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda usai. Revisi UU KPK tahun 2019 menjadi plot twist konstruksi lembaga anti rasuah. Paska revisi, KPK secara penuh di bawah supervisi presiden. 

Dalam keterangn siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil, menyebutkan usai. Revisi UU KPK tahun 2019 menjadi plot twist konstruksi lembaga KPK.

Demikian juga dengan status kepegawaian staf KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Perubahan konstruksi lembaga yang lahir dari rahim reformasi ini berakibat pada lemahnya taji upaya pemberantasan korupsi, serta kewenangan supervisi dan koordinasi antar lembaga penegak hukum yang selama ini menjadi salah satu strategi KPK untuk mendorong sinergitas pemberantasan korupsi, ujar Laode M Syarif selaku Direktur Eksekutif Kemitraan yang mana tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil 

Ungkapnya rentetan dramaturgi pelemahan fungsi dan kewenangan KPK masih berlanjut saat proses seleksi pimpinan dan dewan pengawas periode 2019-2023 dan 2024-2029. 

Lantaran itu, Kelompok Masyarakat Sipil Antikorupsi menilai bahwa proses seleksi berjalan berlawanan dengan logika publik. 

Terpilihnya komisioner yang dianggap memiliki catatan terhadap kompetensi dan integritas serta catatan dugaan pelanggaran kode etik, adalah bukti, logika publik yang dianggap sepi oleh panitia seleksi, 

" Pun yang terjadi pada fit and proper test yang digelar komisi III DPR RI. Hasil voting anggota legislatif tersebut memperlihatkan bahwa kesepakatan untuk mendukung 5 calon pimpinan telah diambil sebelum proses pemungutan suara diambil," ditambahkan oleh Almas Sjafrina, yang merupakan Kepala Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi ICW

Menurutnya, Kondisi saat ini pun juga tidak berubah secara signifikan pasca 59 hari Prabowo Subianto dilantik menjadi Presiden. 

Malah, salah satu program Asta Cita yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi berpotensi hanya akan menjadi lip service belaka saat Presiden menyampaikan bahwa akan memberikan maaf kepada koruptor ketika bersedia mengembalikan kerugian negara.

Pernyataan Presiden Prabowo mengenai pemberian maaf kepada koruptor tidak sejalan dengan makna kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Karena sifatnya yang luar biasa, maka perlu ada upaya luar biasa pula yang wajib dilakukan oleh Pemerintah. 

Bila tidak, maka upaya memberikan efek jera pada koruptor semakin jauh panggang dari api. Pengampunan kepada koruptor tersebut dapat dipastikan akan semakin memperburuk kondisi perlawanan terhadap korupsi yang kini telah melemah. 

Kondisi tersebut jelas juga tak menguntungkan pemerintahan Prabowo Subianto karena wabah korupsi juga mengancam program-program strategis pemerintah, ungkap Almas Sjafrina

Kepala Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi ICW mengatakan dalam memberikan efek jera bagi koruptor, Pemerintah patut diduga tidak melakukannya dalam koridor yang “luar biasa”. 

" Jika pemerintah serius ingin mengoptimalkan pengembalian kerugian yang diakibatkan praktik korupsi, alih-alih memberi pengampunan, pemerintah semestinya  segera merealisasikan pengesahan RUU Perampasan Aset yang telah molor sejak 2012 lalu," pungkasnya

RUU tersebut patut dilihat juga sebagai upaya pemulihan keuangan negara terhadap kerugian kejahatan ekonomi, termasuk korupsi. Jika aturan tersebut disahkan, maka koruptor tidak perlu lagi untuk mengembalikan kerugian negara secara sukarela. Sebab, telah ada mekanisme hukum yang ditempuh agar pengembalian kerugian negara jauh lebih optimal.

Rentetan milestone peristiwa diatas semakin menunjukkan bahwa komitmen pemerintah secara sungguh-sungguh menganggap korupsi adalah kejahatan luar biasa tidak disertai penanganan luar biasa. 

Pernyataan pengampunan kepada koruptor juga merupakan suatu bentuk anomali kebijakan melawan korupsi yang juga bertentangan dengan perangkat hukum yang berlaku. 

Oleh karena itu,, Kelompok Masyarakat Sipil Antikorupsi, mendesak agar Presiden Prabowo Subianto: 
1. Menghentikan wacana AMNESTI Koruptor karena bertentangan dengan hukum yang sedang berlaku. Presiden harus mengingat sumpahnya, yaitu sumpah untuk menjalankan Undang-Undang, bukan untuk melanggar Undang-Undang.
2. Memfokuskan kinerja untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU Perampasan Aset agar para koruptor dapat dimiskinkan dan aset-aset yang didapatkan secara ilegal (illicit enrichment) dan aset-aset yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya (unexplained wealth) dapat dirampas oleh negara. Hal ini sejalan dengan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
3. Memperkuat KPK dengan mendukung pimpinan KPK baru untuk merekrut secara mandiri para penyelidik dan penyidik independen KPK, agar tidak tergantung pada Kepolisian.
4. Mengembalikan  independensi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai semula.

Tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, yaitu sebagai berikut;
1. Kemitraan
2. Indonesia Corruption Watch
3. Transparency International Indonesia
4. Yayasan ASA Indonesia
5. Pergerakan Difabel untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulawesi Selatan
6. Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia
7. YASMIB Sulawesi
8. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumatera Utara
9. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta
10. Koalisi Mahasiswa dan Rakyat Tasikmalaya.

[red/jmp]
© Copyright 2022 - JURNALIS MERAH PUTIH