Breaking News

Picu Smelter dan Ancaman HAM Dari Krisis Ekologi ! Begini Kata Advokat Rakyat

Keterangan: Advokat Rakyat Agussalim SH, tokoh pegiat lingkungan dan antikorupsi [dok: ist]

PALU, SULAWESI TENGAH (23/12) || jurnalismerahputih.com - Rejim berkuasa di Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam rencana pembangunan nasional 2020–2024, termasuk pembangunan 31 pabrik peleburan di luar Pulau Jawa. Namun realisasi targetnya masih jauh dari harapan.

Berdasarkan sejumlah laporan dan analisis independen, lambatnya pembangunan smelter ini. UU Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mewajibkan pemegang izin melakukan pemurnian mineral di dalam negeri. Peraturan Presiden tentang RPJMN 2020–2024, yang menetapkan target operasional 31 smelter baru pada tahun 2024.

Sementara, regulasi Menteri ESDM, yang mengatur tahapan wajib dalam pembangunan fasilitas pemurnian mineral. Kurangnya pelatihan, pengawasan, dan koordinasi antar-kementerian menjadi penyebab utama tertundanya proyek-proyek ini. Selain itu, hambatan teknis seperti perizinan, pendanaan, dan pasokan energi juga melemahkan situasi.

Kegagalan percepatan pembangunan smelter juga berdampak pada isu lingkungan dan HAM. Tanpa fasilitas pengolahan mineral yang memadai, eksploitasi sumber daya alam terus meningkat tanpa memberikan nilai tambah yang signifikan.

Ditambah, konflik lahan yang muncul dalam proses penyediaan area proyek sering kali melibatkan masyarakat adat dan kelompok rentan, yang dimulai pada pelanggaran hak-hak mereka.

Sebagai langkah perbaikan, sejumlah pihak telah merekomendasikan untuk melakukan:
Inventarisasi permasalahan dan hambatan dalam penyelesaian pembangunan smelter. Koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk menemukan solusi atas kendala teknis maupun administratif.

Fasilitasi kerjasama dengan investor baru guna mendukung pendanaan proyek. Dekati langsung dengan perusahaan terkait untuk memastikan komitmen mereka dalam penyelesaian proyek.

Dampak pada Pendapatan Negara dan Daerah Ketertundaan Pembangunan smelter tidak hanya menghambat hilirisasi mineral, tetapi juga berpengaruh pada penerimaan negara dan daerah. Penjualan produk mineral mentah ke luar negeri masih berlangsung, meskipun dengan batasan tertentu.

Hal ini mengurangi potensi pendapatan dari nilai tambah yang seharusnya dapat diperoleh jika mineral diolah di dalam negeri. Konteks ini, pembangunan Smelter hanya proyek oligarki bisnis strategis nasional, sehingga komitmen pemerintah berubah dalam partisipasi pembangunan berkelanjutan yang akhirnya berujung pada polemik hukum, krisis Ekologi, konflik agraria dan lingkungan, ekonomi, serta HAM bagi Buruh dan Petani dengan Masyarakat Adat.

Koeksistensi kementerian sarat kepentingan politis sektoral dalam mengatur tahapan wajib dalam pembangunan fasilitas pemurnian mineral. Bahkan didalam kementerian sendiri bernauung Otonom Birokrasi non departemen quasi judicial administrasi.

Sehingga pengawasan, dan koordinasi antar-kementerian dan antar inspektorat kelembagaan menjadi penyebab utama tertundanya proyek-proyek ini.

Selain itu, hambatan teknis seperti perizinan, pendanaan, dan pasokan energi juga melemahkan situasi.

Kegagalan percepatan pembangunan smelter juga berdampak pada isu lingkungan dan HAM. Tanpa fasilitas pengolahan mineral yang memadai, eksploitasi sumber daya alam terus meningkat tanpa memberikan nilai tambah yang signifikan.

Konflik lahan yang muncul dalam proses penyediaan area proyek sering kali melibatkan masyarakat adat dan kelompok rentan, yang dimulai pada pelanggaran hak-hak mereka.

Menurut Advokat Rakyat Agussalim SH,
Inventarisasi permasalahan dan hambatan dalam penyelesaian pembangunan smelter sudah berada pada hitungan bisnis semata, bukan lagi sebagai solusi atas kendala teknis maupun administratif dari tujuan Reformasi selama ini diharapkan.

Menurut Agussalim SH menilai perilaku investor dan kegilaan oligarki dalam mendukung pendanaan proyek ekstraktif ini harus ditinjau lagi, bahkan dihapus dalam skema bisnis ektstraktif.

" Setidaknya kembali pada agenda bersama membangun industri nasional berbasis kedaulatan rakyat, daerah dan dekati langsung dengan komitmen investasi dalam melaksanakan proyek demi pada Pendapatan Negara dan Daerah yang sejahtera," tukasnya

Sehingga, pembangunan Smelter tidak hanya menghambat hilirisasi mineral, tetapi juga berpengaruh pada penerimaan negara dan daerah yang perlu ditinjau lagi. 

Penjualan produk mineral mentah ke luar negeri masih berlangsung, meskipun dengan batasan tertentu harus tegas dihentikan. Karena hal ini sangat menentukan potensi pendapatan dari nilai tambah yang seharusnya dapat diperoleh jika mineral diolah di dalam negeri.

" Konteks ini, pembangunan Smelter hanya proyek oligarki bisnis strategis nasional, sehingga komitmen pemerintah berubah dalam partisipasi pembangunan berkelanjutan yang akhirnya berujung pada polemik hukum, krisis Ekologi, konflik agraria dan lingkungan, ekonomi, serta HAM bagi Buruh dan Petani dengan Masyarakat Adat," tandas Agussalim. [red/jmp]

© Copyright 2022 - JURNALIS MERAH PUTIH