Penulis : Heintje Mandagi- Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia
JAKARTA (19/05) || jurnalismerahputih.com - Sederet kasus korupsi dan praktek suap yang menyeret sejumlah hakim agung telah menuai kecaman publik dan sorotan media massa. Institusi Mahkamah Agung yang seharusnya menjadi benteng terakhir para pencari keadilan di negeri ini, malah menjadi ‘sarang penyamun’ dan kakitangan para mafia peradilan.
Publik pun makin geram ketika isu ini makin viral dan media massa memberitakannya bak serial drama korea yang lagi ngehitz. Kewibawaan para Hakim Agung di MA runtuh seketika meski pelakunya hanya segelintir oknum hakim agung.
Pemberitaan media yang sangat massif ini, ternyata melahirkan kemarahan dan cacimaki warga yang menghiasi kolom komentar di media berita online maupun di media sosial.
Celakanya, di tengah sorotan keras media terhadap kasus korupsi di MA, tiba-tiba Ketua Dewan Pers dan jajarannya berkunjung ke Mahkamah Agung RI. Selang dua hari setelah serah terima jabatan, Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat langsung tancap gas menemui Ketua MA Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., di ruang kerjanya pada Jumat (16/5/2025).
Gerakan Komarudin cs ini sangat disayangkan. Bukannya menemui wartawan media nasional yang terancam kehilangan pekerjaannya, atau Perusahaan Pers yang terancam bangkrut, Dewan Pers justeru mengawali tugas pertamanya memenuhi kepentingan pihak tertentu dengan kedok memperjuangkan kebebasan meliput wartawan di lingkungan MA.
Sulit menghilangkan pemikiran bahwa kehadiran Dewan Pers di MA bukan untuk menebar sinyal kuat agar media massa meredam isu korupsi Hakim Agung di MA. Dewan Pers boleh saja berdalih kedatangannya ke MA untuk membela kepentingan wartawan agar bebas meliput, meski pada kenyataannya selama ini tidak ada masalah peliputan di MA.
keterangan: Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat bersama jajaran pengurus Dewan Pers melakukan kunjungan ke Mahkamah Agung (MA) pada Jumat (16/5/2025) pagi. (Foto Humas MA)
Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat bersama jajaran pengurus Dewan Pers melakukan kunjungan ke Mahkamah Agung (MA) pada Jumat (16/5/2025) pagi. Foto Humas MA
Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat bersama jajaran pengurus Dewan Pers melakukan kunjungan ke Mahkamah Agung (MA) pada Jumat (16/5/2025) pagi. Foto Humas MA
Dewan Pers perlu tahu bahwa MA selama ini tidak pernah menghalangi atau mempersulit tugas peliputan wartawan. Ketua MA dan jajaran selalu mengadakan agenda rutin tahunan yakni pertemuan dengan insan pers peliput di MA.
MA bahkan memberi kemudahan akses peliputan kepada wartawan untuk bisa menemui langsung Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Dr. H. Sobandi, S.H., M.H dalam melakukan wawancara dan konfirmasi.
Tak cuma itu, wartawan peliput MA bahkan punya grup aplikasi WhatsAp yang dihuni Karo Humas Sobandi, sehingga setiap saat wartawan bisa berkomunikasi dengan pejabat humas MA. Oleh karena itu tidak ada urgensi bagi Dewan Pers untuk menemui jajaran pimpinan MA diawal menjalankan fungsinya.
Seharusnya Dewan Pers menjaga independensi menghindari pertemuan dengan pimpinan lembaga yang sedang disorot media dan publik akibat kasus korupsi dan mafia peradilan. Dewan Pers dipandang kegenitan dan tak paham persoalan pers karena menjadikan MA sebagai target utama mengawali kepengurusannya.
Wajar saja peristiwa ini terjadi karena Ketua Dewan Pers Komarudin bukan dari kalangan wartawan. Jadi urat nadi permasalahan pers ternyata hanya bisa dideteksi kalangan wartawan. Persoalan utama pers yang butuh penanganan khusus justeru terabaikan.
Lihat saja belum ada langkah atau terobosan Dewan Pers yang mampu memberi perlindungan kepada wartawan dan media yang terkena dampak krisis. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan, sejumlah media besar nasional bakal mem-PHK wartawan.
Beberapa media pun dikabarkan tutup. PT Era Media Informasi yang mengelola majalah Gatra, situs web Gatra.com, majalah Gatra Jateng, situs Gatrapedia.com, dan kanal Gatra TV, sudah tutup duluan di 31 Juli 2024.
Pada tahun sebelumnya, PT Media Nusantara Indonesia (MNI) memutuskan untuk menghentikan penerbitan Koran SINDO versi cetak maupun versi e-paper pada 17 April 2023 lalu.
PT Cakrawala Andalas Televisi atau ANTV dikabarkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Kabar itu terjadi di tengah proses restrukturisasi utang bersama entitas induknya yakni PT Intermedia Capital Tbk (MDIA) dan PT Visi Media Asia Tbk (VIVA).
Media Tempo.co bahkan mencatat sudah ada 37 media cetak yang tutup, yakni Koran SINDO, Harian Republika, Tabloid NOVA, Majalah Mombi SD, Suara Pembaharuan, Koran Tempo, Indopos, Tabloid Bintang, Tabloid Cek & Ricek, Tabloid Bola, Majalah Gogirl, Esquire Indonesia, Majalah Rolling Stone Indonesia, Jakarta Globe, Surat Kabar Sinar Harapan, dan sejumlah media cetak lainnya.
Selain itu juga ternyata ada media televisi yang tutup, antara lain yakni Bloomberg TV, Spacetoon, Channel Kemanusiaan, dan Net TV.
Kondisi ini memerlukan perhatian serius semua pihak. Pergeseran media informasi sudah memasuki era digitalisasi informasi.
Pers harus segera berbenah diri jika tidak ingin terpinggirkan oleh beragam platform media sosial yang memberi ruang yang sangat luas kepada warga untuk menjalankan praktek jurnalistik.
Tidak bisa dipungkiri nasib puluhan ribu media online yang didalamnya ada ratusan ribu wartawan mengais rejeki, perlu juga diakomodir kepentingannya oleh pimpinan organisasi pers, termasuk pemerintah tentunya.
Dewan Pers yang ada sekarang tidak bisa diharapkan jika programnya hanya berkutat di bisnis Uji Kompetensi Wartawan, Verifikasi Media, dan ‘binis’ pelayanan pengaduan.
Baru-baru ini Dewan Pers mengurusi dualisme pengurus Persatuan Wartawan Indonesia. Hendri Bangun yang belum berstatus tersangka tapi sudah kadung dilengserkan tanpa ada proses hukum yang inkrah, kini dipaksa mengikuti kongres luarbiasa.
Tidak bermaksud untuk membela Hendri Bangun, tapi secara legal formal, Badan Hukum PWI masih mengesahkan Hendri Bangun sebagai Ketua Umum PWI. Produk kongres luar biasa yang melengserkan Hendri ternyata tidak mendapat legitimasi dari pemerintah di Kementerian Hukum.
Artinya status kepengurusan Hendri Bangun masih sah sebagai Ketum PWI. Dewan Pers malah menambah masalah baru mengintervensi masalah internal PWI.
Dewan Pers yang kini dihuni eks Ketua KPK Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum seharusnya berani mendesak Kapolri agar kasus diugaan korupsi UKW PWI segera diselesaikan. Dewan Pers harus membuka diri untuk membongkar dugaan keterlibatan Dewan Pers periode lalu dalam kasus Cash Back UKW dana hibah BUMN, serta puluhan miliar rupiah APBN untuk anggaran UKW di Kementerian Kominfo era sebelumnya yang mengalir di seluruh organsiasi konstituen dan Lembaga Uji Kompetensi ilegal.
[red/jmp]
Social Header