Breaking News

Hardjuno Wiwoho: Gugatan Perpu PUPN Menjadi Pelajaran Menyusun RUU Perampasan Aset

JAKARTA (18/06) || jurnlismerahputih.com - Pengamat hukum dari Universitas Airlangga Hardjuno Wiwoho mengatakan gugatan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Perpu PUPN) bisa menjadi bahan pelajaran dalam menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

Sebab, kata dia, gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut bisa menjadi cermin awal untuk menguji sejauh mana sistem hukum Indonesia mampu membedakan antara upaya penyelamatan keuangan negara dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.

“Saya kira, gugatan soal Perpu PUPN ini perlu dicermati. Apalagi pemerintah dan DPR sedang membahas RUU Perampasan Aset yang juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah,” kata Hardjuno dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

Mencermati risalah sidang MK terakhir pada pekan lalu, Hardjuno mengatakan pokok masalah dari gugatan tersebut, yakni pada lemahnya pengawasan terhadap proses penetapan obligor (pengutang) pemerintah, termasuk persoalan dokumen dan rekening yang diduga tidak sahih.


Ia menilai apabila benar ada salinan putusan Mahkamah Agung (MA) yang dipakai sebagai dasar tagihan, tetapi kemudian diduga palsu dan digunakan oleh pemerintah untuk merampas hak warga, maka kondisi itu merupakan masalah serius dalam konteks kepastian hukum.

Begitu pula, sambung dia, jika benar terjadi pemindahan dana ke rekening bank yang diduga bukan milik pihak yang ditagih. Hal itu dinilai memperlihatkan urgensi pembenahan sistem hukum di Indonesia sebelum RUU Perampasan Aset disahkan.

Hardjuno pun menekankan bahwa pemerintah membutuhkan instrumen hukum yang kuat untuk menyita aset hasil kejahatan, namun hal itu tidak boleh mengorbankan prinsip keadilan dan akuntabilitas yudisial.

“RUU Perampasan Aset harus menjamin due process, perlindungan bagi pihak ketiga, serta mekanisme keberatan dan pembuktian terbuka. Jika tidak, kekuasaan bisa kehilangan akal sehatnya,” kata dia.

Oleh karenanya, dia mengingatkan bahwa gugatan Perpu PUPN bukan soal siapa yang menang di MK, tetapi menjadi momentum penting bagi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar mengevaluasi kembali materi dalam RUU Perampasan Aset, yang lebih mengedepankan kepastian dan keadilan hukum.


Jika kesalahan dalam gugatan Perpu PUPN dibiarkan, maka dirinya berpendapat RUU Perampasan Aset berpotensi melahirkan kekuasaan sepihak yang bisa menyita aset tanpa kontrol yudisial yang memadai.

“Ini lah alasan mengapa gugatan ini tidak hanya menyangkut satu orang, tetapi menyangkut masa depan keadilan hukum di Indonesia,” tutur Hardjuno.

Perpu Nomor 49 Tahun 1960 selama ini kerap dijadikan pijakan hukum oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan (Kemenku) dalam proses penyitaan aset para obligor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Baru-baru ini, pengusaha sekaligus bankir pemilik Bank Centris Internasional Andri Tedjadharma mengajukan uji materi terhadap Perpu itu ke MK.

Pemohon berpendapat bahwa telah terjadi kriminalisasi atau tindakan koersif oleh PUPN yang secara sepihak menetapkan Andri sebagai penanggung utang atas piutang negara.

Sebelumnya dalam sidang mendengar keterangan pemerintah di MK, Jakarta, Rabu (30/4), Pemerintah, yang diwakili oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Rionald Silaban menyampaikan tanggapan terhadap permohonan uji materi yang diajukan oleh Pemohon terkait ketentuan Pasal 8, Pasal 9 ayat (1) dan (2), serta Pasal 11 huruf f Perpu PUPN.

Pemerintah menegaskan bahwa Perpu tersebut bertujuan untuk melindungi keuangan negara dan menyatakan keberatan atas berbagai dalil yang disampaikan Pemohon dan menilai Pemohon tidak memahami maksud dan tujuan Perpu PUPN, khususnya dalam konteks perlindungan keuangan negara.


[red/jmp]
© Copyright 2022 - JURNALIS MERAH PUTIH