TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU (07/06) || jurnalismerahputih.com - Pengadilan Negeri Batam dalam putusannya tertanggal 02 Juni 2025 telah mengabulkan Gugatan Perdata Ocean Mark Shipping Inc (OMS) selaku Penggugat melawan Pemerintah RI cq Kejaksaan Agung cq Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau cq Kejaksaan Negeri Batam cq Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara pidana Nomor: 941/Pid.Sus/2023/PN Btm (dengan terdakwa Mahmoud Mohamed Abdelaziz Mohamed Hatiba) selaku Tergugat.
Gugatan ini diajukan OMS setelah adanya putusan pidana Pengadilan Negeri yang sama (PN Batam) yang merampas Kapal MT Arman 114 berikut muatannya Light Cruide Oil sebanyak 166.975.36 metrik ton untuk negara telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde).
Berdasarkan data pada aplikasi SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) Pengadilan Negeri Batam, gugatan perdata OMS ini dengan nomor : 323/Pdt.G/2024/PN Btm yang didaftarkan tanggal 26 Agustus 2024 (Tanjungpinang, 07/06/2025).
Tentulan putusan tersebut sangat kontroversial dan telah menuai kritik keras dari kalangan akademisi maupun lembaga penegak hukum. Pakar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, S.H., M.S yang menilai bahwa putusan yang memenangkan gugatan Ocean Mark Shipping Inc (OMS) atas Kapal berbendera Iran tersebut dapat menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
Pasalnya, dalam waktu yang berdekatan, dua majelis hakim di pengadilan yang sama menjatuhkan putusan yang saling bertolak belakang: satu dalam perkara pidana, satu lagi dalam perkara perdata, menyangkut kapal dan muatan minyak mentahnya yang diperkirakan bernilai lebih dari Rp. 1 triliun.
"Ada masalah serius bila putusan perdata dijadikan alat untuk menegaskan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap," ujar Agustinus Pohan.
Menurut Pohan, dalam sistem hukum Indonesia, putusan pidana memiliki kedudukan hukum lebih tinggi dibanding putusan perdata.
Oleh karena itu, setiap koreksi terhadap putusan pidana seharusnya dilakukan melalui jalur hukum pidana, seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali, bukan melalui gugatan perdata.
"Kalau hal ini dibiarkan, akan terbuka ruang manipulasi hasil putusan pidana lewat gugatan perdata. Ini tentu tidak sehat bagi sistem peradilan kita," tegasnya.
Agustinus Pohan menilai bahwa barang bukti dalam perkara pidana, seperti kapal dan muatannya, bukanlah objek sengketa perdata. Ia menyebut, dalam konteks hukum, barang sitaan adalah alat bukti kejahatan.
"Kalau misalnya harta saya disita dalam perkara pidana korupsi, saya tidak akan menggugat secara perdata. Saya akan buktikan lewat jalur pidana bahwa saya pihak yang beritikad baik," tuturnya.
Lebih jauh, Pohan menduga bahwa dugaan pencemaran laut oleh kapal MT Arman 114 bukan tindakan individu semata, melainkan bagian dari operasi korporasi. Hal ini merujuk pada tanggung jawab pidana korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 98 dan 99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Muatan minyak mentah itu bukan milik perorangan. Kalau Ocean Mark Shipping diakui sebagai pemilik sah, maka mereka juga bisa dimintai pertanggungjawaban atas dugaan pencemaran," ujarnya.
Pohan juga menanggapi kekhawatiran publik terkait integritas hakim dalam perkara ini. Ia menegaskan bahwa hakim bukan sosok yang kebal kritik.
"Jika ada dugaan bahwa putusan dipengaruhi kepentingan eksternal, itu harus dilaporkan ke Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung," kata Pohan.
Menurutnya, sistem pengawasan terhadap hakim sangat penting demi menjaga marwah lembaga peradilan dan mempertahankan kepercayaan publik.
Dalam penutupnya, Pohan mendorong aparat penegak hukum untuk tidak bersikap pasif dalam menangani kasus yang menyangkut kepentingan publik luas. "Penyidik punya wewenang untuk bertindak tanpa harus menunggu laporan. Jika ada dugaan pelanggaran hukum, proses penyelidikan seharusnya sudah dimulai," tutupnya.
Sementara itu Kejaksaan sebagai pihak tergugat telah mengajukan Upaya hukum banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Batam tersebut pada hari Rabu tanggal 04 Juni 2025. Kepala Kejaksaan Tinggi Teguh Subroto, SH. MH menilai putusan Pengadilan Negeri Batam yang telah mengabulkan gugatan perdata Ocean Mark Shipping Inc (OMS) tersebut merupakan preseden buruk atas penegakan hukum dan keadilan.
Hakim telah keliru, khilaf dan melakukan kesalahan dalam menerapkan suatu hukum sehingga telah membuat putusan yang mencederai rasa keadilan tersebut.
“Hakim telah keliru, khilaf dan salah dalam menerapkan suatu hukum, sehingga kami telah menyatakan upaya hukum banding atas putusan tersebut pada tanggal 04 Juni 2025, kami yakin hukum dan keadilan akan menjadi panglima dan putusan pengadilan tinggi akan mengoreksi putusan Pengadilan Negeri Batam tersebut” tegasnya.
[red/jmp]
Social Header