Breaking News

SEJARAH DAN INGATAN KOLEKTIF BANGSA


Penulis: Pande K. Trimayuni*
JAKARTA (08/06) || jurnalismerahputih.com - Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, pada Jumat 6 Juni 2025 menyatakan kepada media bahwa masyarakat harus khawatir jika sejarah di tulis oleh aktivis. Bagaimana kita semestinya menanggapi?

Sejarah dapat kita lihat dari dua pendekatan. Pertama, sejarah sebagai peristiwa (historical event) dan kedua, sejarah sebagai ingatan kolektif (collective memory). Sejarah sebagai peristiwa adalah dokumentasi terhadap suatu fakta atau peristiwa yang terjadi di masa lalu. Dokumentasinya secara phisik dapat kita lihat di museum atau gedung arsip dalam bentuk rekaman pertempuran, pertemuan, konferensi, dan sebagainya. Rekaman detik-detik dibacakannya Proklamasi RI oleh Ir. Soekarno adalah salah satu bentuk peristiwa sejarah.

Sedangkan sejarah sebagai ingatan kolektif (collective memory) menyangkut pengalaman masa lalu, hubungan antar manusia dan alam sekitarnya yang masyarakat ingat, tafsirkan dan berikan makna-makna. Dalam hal ingatan kolektif ini, semua orang dan lapisan masyarakat terlibat dalam sejarah, tidak hanya sejarawan. Aktivis juga terlibat dalam ingatan kolektif bangsa, bahkan mungkin sangat terlibat karena mereka berada di garis depan dalam memperjuangkan hak-hak Masyarakat. Contoh ingatan kolektif adalah ingatan masyarakat tentang apa yang terjadi dalam peristiwa 1998, ingatan tentang peristiwa Covid-19, dan sebagainya.

Ingatan dan kejadian yang dialami secara kolektif ini, termasuk trauma-trauma didalamnya kemudian menjadi sumber pembelajaran dan inspirasi untuk pijakan menuju masa depan. Oleh karenanya, sejarah sebenarnya tidak berjarak dengan kita. Tetapi kita, utamanya sebagai warga Indonesia, tidak terbiasa atau tidak dibiasakan dekat dengan sejarah, sehingga sejarah sepertinya adalah “sesuatu diluar sana”, dan “dikerjakan oleh orang-orang tertentu saja”, tidak dirasakan sebagai bagian dari perjalanan hidup pribadi ataupun bangsanya. Akibatnya, sejarah bangsa menjadi topik yang asing atau (sengaja) diasingkan.

Terkait komentar Menteri Kebudayaan, menteri mengabaikan kenyataan bahwa banyak aktivis adalah pelaku sejarah. Kesaksian dari pelaku sejarah, aktivis dalam hal ini, justru merupakan salah satu kesaksian yang paling reliable dan tergolong sumber primer. Sebagaimana diketahui, sumber informasi sejarah bisa diperoleh dari sumber langsung/keterangan lisan (termasuk kesaksian aktivis yang terlibat dalam suatu peristiwa), sumber tertulis/catatan-catatan, benda peninggalan/artefak, bahasa dan gaya hidup/etnografi.

Sebagai potensi sumber primer penulisan sejarah, aktivis tidak homogen dalam cara pandangnya, sesuai dengan pengalamannya masing-masing. Ini dapat memberikan keragaman perspektif dalam melihat sejarah. Pemerintah semestinya memfasilitasi pengungkapan ingatan kolektif ini dan dengan metode partisipatif para aktivis dapat menuliskan pengalaman mereka sebagai oral history untuk kemudian dapat berkontribusi terhadap catatan sejarah bangsa.

Sejarah Indonesia pun bukanlah sejarah yang berdiri sendiri secara soliter di hamparan sejarah masyarakat dunia. Sejarah Indonesia mengalami perjumpaan-perjumpaan dan berkelindan dengan sejarah berbagai bangsa di dunia. Terlebih dalam dunia akademis, pendekatan yang saat ini dipakai dan diyakini penting dan efektif adalah pendekatan multidisiplin dan interseksional. Multidisiplin merangkul perspektif yang berbeda dari berbagai bidang keilmuan. Sedangkan interseksional memungkinkan kita melihat irisan-irisan dari persoalan yang ada, karena sejarah tidak berada di ruang steril para sejarawan saja. Dengan stigma terhadap kelompok masyarakat tertentu, bagaimana penulisan sejarah yang sedang dilakukan ini dapat kita harapkan? Sejarah ibaratnya adalah pohon. Seperti halnya pohon, pohon tidak memilih mana dahan dan buah yang ia inginkan. Pohon akan merangkul dahan-dahan pertumbuhan dirinya terlepas dia menyukainya atau tidak. Jika penulisan sejarah memilih-milih isu yang diangkat dan berjarak dengan ingatan kolektif masyarakat, bagaimana kira-kira bentuk dokumen sejarah yang dibuat tersebut.

Oleh karenanya penulisan sejarah semestinya bukan sebagai proyek yang bertarget selesai hanya dalam hitungan bulan dengan interpretasi monopolistik. Seharusnya pun bukan pemerintah yang menjadi pelaksana proyek penulisan sejarah. Biarlah kronik-kronik sejarah itu ditulis oleh masyarakat berdasar ingatan kolektif masyarakat. Ingatan kolektif ini tersebar dan berserak dalam ruang-ruang kehidupan masyararakat, termasuk para aktivis yang kita bahas diatas. Kronik-kronik sejarah ini dapat disusun untuk penulisan sejarah sesuai kaidah-kaidah yang ada, disinilah pemerintah dapat mengambil peran fasilitasi. 

Persoalan lain yang terkait, bangsa kita tidak memiliki tradisi untuk membuka suatu polemik. Ini yang mesti mulai dibangun. Misi suci penulisan sejarah adalah agar kita bisa belajar dari sejarah. Sejarah tidak hanya tentang pencapaian dan glorifikasi, sejarah adalah juga tentang luka dan tragedi. Dalam kenyataannya, lebih dari penulisan sejarah itu sendiri, yang lebih mempihatinkan adalah politik sejarahnya. Bagaimana sejarah digunakan untuk mengglorifikasi, melegitimasi, mempahlawankan sesuatu atau seeorang dan sebaliknya mengkerdilkan, mentersangkakan atau menghilangkan kontribusi yang dianggap lawan politiknya.

Penulisan sejarah sebenarnya mencerminkan zeitgeist, semangat zamannya. Kita belajar dari sejarah bahwa pemerintah yang egailiter akan membuka kran-kran ingatan kolektif untuk kemudian menjadi sumber pembelajaran dan inspirasi, sebaliknya pemerintahan yang otoriter akan cenderung untuk memonopoli penulisan sejarah karena sejarah dimaksudkan untuk alat legitimasi dan justifikasi. Kemana penulisan sejarah Indonesia yang saat ini sedang dilakukan akan menuju?

*Pande K. Trimayuni
SEKJEN, DPP Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia 

[red/jmp]
© Copyright 2022 - JURNALIS MERAH PUTIH