JAKARTA (13/02) || jurnalismerahputih.com - Jika kecurangan pilpres 2024 sudah dilakukan jauh sebelum dilaksanakan, maka sesungguhnya rakyat hanya akan menerima hasil buruk dan jauh lebih mengerikan dari konspirasi kejahatan konstitusi dan konstitusi
Kemunculan film “dirty vote” seperti membuat rangkuman kejahatan demokrasi di Indonesia. Kecurangan pilpres 2024 bahkan sebelum dilaksanakan, dilakukan kekuasaan secara terstruktur, sistematik dan masif. Tak cukup melibatkan penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu, kecurangan pilpres 2024 disinyalir ikut menyeret MK, kepolisian dan TNI bahkan sebagian besar kepala daerah mulai dari menteri, gubernur, walikota/bupati hingga kepala desa. Rakyat terpaksa harus mengikuti pemilu berdasarkan penyalahgunaan wewenang, politik uang dan kecurangan, pasrah pada tekanan, intimidasi dan teror. Tak ada lagi harapan menyampaikan aspirasi dan mewujudkan kedaulatan rakyat, tak ada lagi pemungutan suara yang jujur dan adil.
Disutradarai oleh Dhandy Laksono dan diperankan oleh tiga orang ahli hukum yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti dan Feri Amsar. Film bergenre dokumenter tentang fenomena pilpres 2024, layaknya mewakili kegundahan sekaligus refleksi dan evaluasi kritis rakyat terhadap pelaksanaan konstitusi dan demokrasi yang dijalankan rezim dua periode ini. Tak ubahnya menelanjangi kebobrokan dan kedzoliman penyelenggara negara, utamanya menyangkut penggunaan dan cara-cara kotor melanggengkan kekuasaan. Tak ada lagi diskursus tentang mengemban amanat penderitaan rakyat, tak ada lagi orientasi pemimpin yang bisa diteladani dan tak ada lagi kesadaran pada tujuan membangun negara kesejahteraan.
Aparatur pemerintahan baik dilevel eksekutif, legislatif maupun yudikatif, semuanya terpapar distorsi kekuasaan. Tak hanya korup, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan lingkungan hingga membahayakan kedaulatan dan eksistensi NKRI kerap dilakukan kelembagaan trias politika secara formal dan legal. Atas nama undang-undang dan demi kepentingan rakyat, banyak pemangku kepentingan publik dan pengambil keputusan, rakus mengejar kekayaan dengan menguras sumber daya alam dan haus kekuasaan dengan memburu jabatan. Tak lagi peduli benar salah, tak peduli halal haram, tak sedikit pemimpin dan pejabat yang mengangkangi kepentingan rakyat, hanya urusan pribadi, keluarga dan kelompok yang menjadi prioritas.
Bivitri Susanti dikutip dari film “dirty vote” mengatakan perihal kecurangan dan kejahatan demokrasi dalam pilpres telah biasa dilakukan selama ini dan terjadi di beberapa negara. Lantas bagaimana sebagian besar dunia termasuk Indonesia bisa menyerahkan dan mempercayakan proses kedaulatan rakyat pada sistem demokrasi?. Sebagaimana bentuk penolakan atau setidaknya menjadi antitesis terhadap sistem teokrasi dan monarki, demokrasi hanya memindahkan dominasi dan hegemoni kekuasaan para pemimpin agama dan raja ke orang per orang dan kelompok kepentingan tertentu.
Jauh lebih barbar dan brutal, demokrasi terlalu rentan dan faktual dimanipulasi oleh kekuasaan. Berlindung dibalik hasil pemilu curang yang formal dan permainan rekayasa konstitusi, demokrasi sering dipakai sebagai alat “abuse of power” yang sah, sehingga produk demokrasi berlumur pemenjaraan, penculikan, pembunuhan hingga genosida bagi setiap yang kritis terhadap kekuasaan. Melecehkan demokrasi dan konstitusi, melebih dari gaya machiavellis sekalipun.
Pemegang kekuasaan yang menjadi penyelenggara pemilu dengan kemiskinan etika dan moral hingga memiliki mental dan watak penjahat dan penghianat, tanpa malu justru menjadi musuh demokrasi dan konstitusi yang nyata. Mereka merupakan individu dan kelompok anti sosial, anti agama dan anti Tuhan. Memuaskan syahwat harta, jabatan dan kekuasaan yang membahayakan prinsip-prinsip kemanusiaan dan peradaban dunia.
Kemunafikan kental menghiasi ucapan pikiran dan tindakannya, bagai musang berbulu domba, tampil mengesankan baik, sederhana dan jujur namun sesungguhnya berdarah dingin dan keji. Tampil humanis dihadapan publik, namun dipenuhi niat dan rencana jahat pada rakyat. Siasat menawarkan madu pada awalnya namun akhirnya memberi racun. Konstitusi sudah dimanipulasi dan pejabat sudah diikat dengan politik sandera, kini tinggal mengiming-imingi rakyat dengan uang dan sembako. Rakyat terlena untuk selanjutnya merana, dibantai dengan kebijakan setelah berkuasa yang membuat rakyat sengsara. Rakyat cukup punya kesadaran, namun berulang kali tetap melakukan, terbuai oleh slogan dan jargon-jargon kerakyatan, ujungnya mengalami penindasan oleh rezim kekuasaan.
Begitulah demokrasi yang dipuja dan diagungkan, dibangun oleh sistem kapital yang liberal dan sekurel, hanya ada transaksional untuk suara rakyat. Tak ada harga diri, kehormatan dan martabaty, yang ada hanya jual beli suara. Semakin besar modal untuk membeli suara, semakin besar berpeluang menjadi penguasa. Namun penguasa yang pembual, yang amoral dan gagal mewujudkan negara yang ideal. Tak ubahnya demokrasi dan konstitusi dan demorasi dikuasai penjahat berpakaian pejabat. Pilpres 2024 dikelola oleh para aparat yang penuh mudharat, berlumur keringat, darah dan nyawa rakyat tak berdosa. Biar rakyat yang menilai dan menentukan, menjadi keledai yang jatuh dua kali di lubang sama, atau menjadi rakyat yang tercerahkan. Kini siapa yang tidak tahu, betapa para psikopat telah menjerat pilpres 2024.
Katakanlah yang sebenarnya walaupun pahit akibatnya. Bertindaklah yang sebenarnya walaupun itu sulit dilakukan.
Disampaikan Penulis : Yusuf Blegur
Bekasi Kota Patriot.
3 Sya’ban 1445 H/13 Februari 2024
[red/jmp]
Social Header