TAPANULI TENGAH ,SUMATERA UTARA (26/6) || jurnalismerahputih.com -| Pukat trawl atau lebih dikenal pukat harimau itu masih banyak beroperasi di kawasan pantai barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Tak tanggung-tanggung pukat harimau tersebut, bahkan per tahun semakin bertambah armada kapal yang menghancurkan biota laut tersebut.
Sejatinya pengusaha tak mau tahu soal kondisi laut seperti apa, penyedia hanya tahunya untung dan abaikan larangan pemerintah menteri kelautan.
"Meraup keuntungan dengan cara curang praktik penangkapan ikan dan spesies lainnya dengan menjaring hingga ke dasar laut dengan tidak mengikuti aturan," kata Ikmad.
Secara hukum, alat tangkap pukat harimau telah dilarang sejak tahun 1985 melalui Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl.
Aturan tersebut muncul setelah berbagai konflik besar antara nelayan tradisional dengan kapal trawl.
Padahal bila dilakukan jelas ada hukum pidananya, tapi para pengusaha tetap melakoni praktik itu. Menurut pihaknya keuntungan lebih menggiurkan.
Bila kegiatan itu terus berlangsung dilakukan, bagaimana nasib nelayan tradisional bertahan? Justru itu semakin menyengsarakan.
Mengejutkan, ternyata diduga ada ratusan kapal pukat trawl asal Sibolga-Tapanuli Tengah yang bebas beroperasi.
Hal ini diungkapkan oleh Pemerhati nelayan tradisional, Ikhmad Lubis ketika ditemui oleh awak media di kediamannya baru-baru ini.
"Kalau kisarannya itu mencapai 60 lebih kapal yang besar dan ada ratusan untuk kapal kecil dan itu ada di Sibolga," jelas Ikmad
Kendati kata Ikmad, bukan laut yang ada di Sibolga-Tapteng saja yang dirusak untuk daerah lain juga seperti itu selagi itu masih perairan Indonesia itu sudah jelas ada aturannya.
Pengusaha agaknya mengangkangi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/PERMEN-KP/2016 Tahun 2016 terlihat bebasnya tambat ataupun bongkar hasil diduga pukat harimau di gudang ikan tangkahan Manullang atau gudang Sabena," tuturnya.
Menurut Ikhmad, merajalelanya pukat Trawl ini akibat ketakutan dari nelayan kecil apabila ambil tindakan sendiri akan dibayangi oleh jerat hukum pidana.
"Kejadian tahun 2001, sampai 12 unit dibakar oleh Masyarakat. Belakangan inilah, trawl si Manullang dibakar, ya kena juga Masyarakat, ya ditangkap oleh Airud," kata Pria yang juga Mantan Ketua KNTM Sibolga ini.
Nelayan tradisional lokal diminta untuk bergerak karena tidak ada yang akan peduli kelestarian biota laut di Pantai Barat Sumatera ini kecuali Masyarakat itu sendiri.
"Kasarnya, saya seorang Pemimpin Instansi. Ini bukan daerah saya, setelah 2-4 tahun habis masa jabatan, saya pindah bawa koper pulang. Mau jadi apa pun disini terserah, karena bukan kampung saya ini itulah contohnya," pungkas Ikmad.
[A.Nst/jmp]
Social Header