Breaking News

Pakar HTN: Sejumlah Putusan MK Lahir dari Kepentingan Politik


JAKARTA (12/01) || jurnalismerahputih.com - Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi mengajak masyarakat tak terlena dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, minimal 20% kursi DPR sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Implementasi putusan MK dalam undang-undang harus terus diawasi.

Burhanuddin mengatakan pemerintah dan DPR wajib segera menindaklanjuti putusan MK ini dengan merevisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Namun, ia berharap para pembuat undang-undang tak sekadar fokus pada aturan batas minimal syarat pencalonan.

"Kita minta, DPR dan pemerintah, untuk menunaikan kewajibannya yaitu jangan sekadar batas minimum pencalonan yang selama ini mereka urusi, tetapi batas atasnya," kata Burhanuddin dalam diskusi Integrity Constituional Discussion 14: Kontroversi Pemilihan Presiden Pasca Pembatalan Syarat Ambang Batas oleh MK di Jakarta, Minggu 12 Januari 2025.

Menurut dia, aturan ambang batas atas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden juga penting. Jika tidak diatur, bukan tidak mungkin aksi 'borong partai politik' masih terjadi dan berpotensi menghambat calon-calon alternatif, saat di acara diskusi digelar INTEGRITY Law Firm bekerja sama dengan CALS mengusung tema, "KONTROVERSI PEMILIHAN PRESIDEN PASCA PEMBATALAN SYARAT AMBANG BATAS OLEH MK" yang dilangsungkan hari Minggu (12/01) di Jalan Kawi Raya Guntur, Setiabudi Jakarta.
 
Burhanudin katakan putusan MK soal penghapusan ambang batas 20 persen memang menjadi angin segar bagi demokrasi. Tapi, publik tak boleh hanya bergantung kepada MK.

"Jangan kita terus menerus berharap sama kebaikan MK. Karena kalau kita terus menerus berharap sama MK itu seperti selemah-lemahnya iman," cetus dia.

Sebelumnya, MK menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20% kursi DPR. MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu memiliki kesempatan mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023. Prmbacaan diselenggarakan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 2 Januari 2025. 

Menurutnya masyarakat harus juga memantau pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya.

"Kita minta, DPR dan Pemerintah, untuk menunaikan kewajibannya yaitu jangan sekedar batas minimum pencalonan yang selama ini mereka urusi, tetapi batas atasnya," ujarnya.

Menurutnya, jika batas atas dipatok maksimum misalnya 40-50%, hal itu masih membuka kemungkinan calon-calon yang lain. Supaya ada calon alternatif, dan itu tugas DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk Undang-Undang (UU).

Sementara, Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Zainal Arifin Mochtar mengungkap latar belakang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak sedikit lahir akibat kepentingan politik. Menurutnya, hal ini dianggap wajar sebab hakim MK dianggap merupakan makhluk politik.

“Kalau teman-teman baca putusan MK, belakangan khususnya mulai pasca banyak membacanya, banyak mencoba menemukan polanya itu sama dari 2017, hakim MK itu adalah makhluk politik. Iya ada bukunya tentu tapi seringkali putusannya bukan lahir dari logika semata tapi lahir dari kepentingan politik,” kata Zainal dalam diskusi bertajuk “Kontroversi Pemilihan Presiden Pasca Pembatalan Syarat Ambang Batas oleh MK” secara daring, Jakarta, Minggu (12/1/2025).

Di lokasi, turut hadir Narasumber, Prof. Denny Indrayana (Mantan Wamenkumham), Burhanuddin Muhtadi, Luluk Nur Hamidah, Titi Anggraini, ⁠⁠Zainal Arifin Mochtar Pakar Hukum Tata Negara (HTN), dengan dimoderatori oleh M. Raziv Barokah, S.H., M.H (Senior Associate Integrity Law Firm).

Lebih lanjut, Zainal menyoroti salah satu putusan MK ketika tahun 2017 dimana DPR RI boleh ikut campur dalam putusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). 

Ia menilai putusan tersebut dianggap aneh dan kental akan nuansa politik.

Putusan MK itu konsisten untuk kasus-kasus yang nuansa politiknya tinggi, hakim MK itu biasanya ada saja satu dua kalimat yang tiba-tiba aneh dan itu konsisten, konsisten dalam keanehan itu,” ucapnya.

Zainal menjelaskan keanehan dimulai ketika KPK boleh diangket oleh DPR. Namun, angket DPR tidak boleh berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut penyelidikan dan penyidikan perkara.

Hal serupa juga terjadi pada putusan MK yang melanggengkan Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden di Pilpres 2024.

“Selalu hadir dalam kata-kata begitu,” ungkapnya.

Dengan demikian, Zainal menjelaskan putusan MK diambil dari tiga genre hakim yang ada dalam lembaga tersebut. Genre pertama diisi oleh hakim yang mencoba menyelamatkan hak MK (judicial heroes).

Genre kedua diisi oleh para hakim yang bermain politik dimana mereka pun ditunjuk melalui proses politik. Dan yang ketiga hakim-hakim yang berada di pertengahan.

“Putusan MK biasanya diambil itu adalah merebut hakim yang di tengah ini. Jadi hakim-hakim politis mencoba membujuk hakim di tengah supaya masuk ke genre mereka. Atau kah hakim-hakim yang mencoba menyelamatkan hukum ini mencoba membujuk mereka ke arah tengah,” jelasnya.

“Itu sebabnya rajin sekali MK memutus dengan bahasa-bahasa pertengahan. Karena itu cara membujuk,” tutur Zainal. [red/jmp]
© Copyright 2022 - JURNALIS MERAH PUTIH