YOGYAKARTA (13/08) || jurnalismerahputih.com -Masyarakat sipil mulai bergerak melakukan perlawanan konkrit atas kebijakan pemberian izin/konsesi tambang kepada Organisasi Masyarakat (Ormas) Keagamaan. Beberapa tokoh, akademisi dan praktisi menyebutkan bahwa NU dan Muhammadiyah adalah korban politik dagang IUP oleh oknum penguasa.
Hal tersebut mendorong Indrayana Center for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm bersama Keluarga Muslim Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (KMFH UGM) menyelenggarakan INTEGRITY Constitutional Discussion #12 (ICD #12) bertajuk “Konsesi Tambang bagi Ormas Keagamaan, Kepentingan Siapa?”
Diskusi dibuka dengan keterangan yang disampaikan oleh Farid Gaban selaku jurnalis senior yang menyatakan bahwa pemberian konsesi batubara kepada Ormas Keagamaan lebih banyak kerugiannya dari pada kemanfaatannya, salah satunya karena konsesi yang diberikan adalah konsesi bekas.
“ mereka itu dapat konsesi tambang bekas dari perpanjangan perusahaan lama, perusahaan lama,.. ada 5 (lima) perusahaan, mereka dapat perpanjangan otomatis karena mereka menyisakan sedikit. Jadi intinya kita bisa melihat sebenarnya ormas keagamaan “disuap” yang kecil ini. Arutmin misalnya selama 30 (tiga puluh) tahun terakhir sudah mengambil 60% (enam puluh persen) dari ladang batubara yang ada di kawasannya. Saya kira yang dikasih ke NU atau Muhammadiyah bukan tambang yang ada batubaranya, bahkan kalaupun ada batubaranya, harga batubara sekarang sudah jatuh. Keuntungan yang besar justru ada di pihak pemerintah karena akan dapat menjustifikasi dalil-dalil keagamaan dan justifikasi kerugian-kerugian nantinya,” Tegasnya.
Disambung oleh Bapak Totok Dwi Diantoro selaku dosen hukum Lingkungan UGM, menyatakan seharusnya ormas keagamaan itu bukannya ikut masuk ke dalam konsesi pertambangan, karena akan kehilangan legitimasi moral anti tambang dan sebaiknya ikut mengadvokasi regulasi tambang yang menyebabkan bad governance.
“ Kemudian yang semakin memprihatinkan bagi kita misalnya, dengan hadirnya UU 3/2020 yang kemudian memberikan banyak keistimewaan bagi industri tambang, dia begitu menikmati apa yang kita lihat sebagai fenomena bad governance dalam pengelolaan tambang kita, mestinya itu justru yang harus diadvokasi oleh ormas keagamaan bukan kemudian justru ikut masuk ke dalam permainan itu. Jika dia di situ justru menjadi tidak memiliki semacam legitimasi moral untuk menyuarakan anti tambang”
Tareq M. Aziz Elven, selaku Associate INTEGRITY Law Firm menyambut penyampaian Bapak Tolok Dwi Diantoro dengan menyatakan pada pokoknya jika pemberian konsesi kepada ormas keagamaan didasarkan pada Pasal 83A PP 25/2024 justru bertentangan dengan aturan yang di atasnya yakni Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) UU 3/2020.
"Jika melihat Pasal 83A PP 25/2024, IUPK diberikan secara langsung oleh pemerintah ke ormas keagamaan. Sedangkan Pasal 75 ayat 3 dan 4 UU 3/2020 mengatur mekanisme lelang untuk pemberian IUPK bagi BUMS. Karenanya, setiap IUPK yg diterbitkan atas dasar Pasal 83A PP25/2024 cacat hukum"
Pemaparan dilanjutkan dengan penyampaian dari Wasingatu Zakiyah mewakili Board PWYP Indonesia, menjelaskan bahwa mestinya kita lebih berfokus untuk mempermasalahkan peraturan yang memberikan konsesi tambang kepada ormas keagamaan, bukan berkonflik dengan masyarakat madani melainkan langsung kepada kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat.
“kita tidak sedang bertentangan dengan itu (NU dan Muhammadiyah), maka kalau kemudian kita mempersoalkan PP 25/2024 kita sesungguhnya melawan negara, yang harus kita lawan adalah negara, sudah bukan level kita melawan masyarakat sipil, tapi yang harus dilakukan adalah memberikan perlawanan kepada negara karena hari ini setelah reformasi kita “dinina bobokan”... salah satu perlawanan dari sisi hukum, adalah melakukan judicial review ke Mahkamah Agung.” Ujarnya.
Penyampaian materi yang terakhir disampaikan oleh M. Raziv Barokah, pada pokoknya menyampaikan bahwa diskusi ini adalah perlawanan hukum masyarakat sipil untuk terhadap negara terkait pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan.
“Diskusi ini perlu kita pandang sebagai salah satu upaya perlawanan hukum masyarakat madani terhadap negara yang saat ini sedang melakukan jual beli IUP dengan mengkambing hitamkan ormas keagamaan, setelah diskusi ini akan ada upaya judicial review terhadap PP 25/2024, kita minta ke Mahkamah Agung agar dasar hukum pemberian konsesi kepada ormas keagamaan dibatalkan. Tegas Raziv. [red/jmp]
Social Header