JAKARTA (16/04) || jurnalismerahputih.com - Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta kini tengah menyidangkan gugatan dari enam eks pegawai yang sebelumnya bekerja sebagai tenaga pemanduan dan penundaan kapal di Pelabuhan Tanjung Priok. Jakarta, Rabu (16/04)
Gugatan ini diajukan menyusul pemutusan hubungan kerja yang dinilai sepihak, pasca perubahan manajemen dari Koperasi Pegawai Maritim Pelindo ke PT Jasa Armada Indonesia.
Dalam persidangan berlangsung di ruang Kusumaatmadja 4 dihadiri Herdiyanto Sutantyo SH MH, Ketua Majelis Hakim, Lita Sari Seruni SE, H, MH, Dr. Purwanto SH, MH, dan Rustiani SH, MH (Panitera).
Salah seorang penggugat, Satiaji mengutarakan dirinya mulai bekerja sejak tahun 2008 di bawah naungan koperasi.
Kala itu, koperasi menjadi pintu masuk bagi para pekerja yang hendak terlibat dalam operasional pelabuhan, khususnya di bidang pemanduan kapal.
Semenjak 2015, manajemen berubah dan seluruh kegiatan operasional diambil alih oleh PT Jasa Armada Indonesia.
Namun, pada 2018, terjadi perubahan kebijakan internal menyebabkan sebagian pekerja dialihkan ke perusahaan vendor.
keterangan: suasana persidangan Pengadilan Hubungan Industrial ( PHI ) di ruang Kusumaatmadja 4 PN Jakpus perihal PHK sepihak PT JAI Tbk. Rabu (16/04) [dok: ist) Lantaran itu, Satiaji menolak skema alih daya tersebut karena menilai hak dan kesejahteraan yang selama ini diterima sebagai pekerja inti akan berkurang secara signifikan. |
“Saya tetap menolak difendorkan, karena dari segi kesejahteraan kami sudah sejahtera. Bahkan anak saya yang waktu itu dirawat di ruang AISU, semua ditanggung. Kami bekerja di kapal yang merupakan pekerjaan inti dan tidak bisa dialihdayakan begitu saja,” ujarnya
Penolakan tersebut, menurut Satiaji, justru dibalas dengan surat mutasi yang ia terima secara mendadak pada malam hari. Sejak saat itu, ia tak lagi diizinkan masuk area kerja.
Surat mutasi tersebut disebutkan sebagai “Mutasi Off”, yang menurut satiaji dkk, demikian saat diwawancarai awak media di Jakarta
Para penggugat, diwakili oleh Satiaji dkk menjelaskan bahwa perkara ini telah dibawa ke Dinas Ketenagakerjaan dan menghasilkan rekomendasi agar para pekerja dipekerjakan kembali. Namun, rekomendasi itu tidak dijalankan pihak perusahaan, sehingga langkah hukum ke PHI pun diambil, didampingi kuasa hukum
Sementara, “Rekomendasi Disnaker tegas menyatakan bahwa mereka harus dipekerjakan kembali. Tapi tidak diindahkan, sehingga sekarang kami gugat ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Kami membutuhkan kepastian status pekerjaan kami di PT Jasa Armada Indonesia (JAI)," ungkapnya.
Sidang di Pengadilan Hubungan Industrial kini telah memasuki tahap ke-7, di mana pihak penggugat sudah menyampaikan seluruh keterangan.
Dalam perkara ini, pihak tergugat adalah PT Jasa Armada Indonesia. Sementara itu, Jaksa Pengacara Negara turut mendampingi pihak tergugat PT JAI.
Para pekerja menegaskan, mereka tidak menutup kemungkinan untuk kembali bekerja apabila perusahaan bersedia menyelesaikan perkara ini secara adil. Namun jika tidak, mereka akan tetap menuntut hak atas pekerjaan maupun kompensasi yang layak secara hukum.
Di persidangan, Saksi Ahli yang merupakan Mantan Hakim Ad Hoc di Pengadilan Tanjung Karang menjelaskan, Yang bersentuhan dengan Produk, tidak bisa / tidak boleh di kontrak.
Disebutkan, dalam Pasal 82, Undang Undang PHI Tahun 2024, bahwa " Gugatan oleh pekerja atau buruh atas pemutusan hubungan kerja berdasarkan pasal 159, hanya dapat diajukan dalam tenggat 1 tahun, atau diberitahukan oleh Perusahaan"
Menurutnya, berkaitan dengan Pasal 159 dan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan, kaitan dengan Pasal 158, Kesalahan berat yang mengandung unsur pidana, namun di UU cipta kerja sudah dihapuskan.
" Selain itu, telah mengundurkan diri, dimana setelah lepas satu (1) tahun tidak dapat menuntut hak hak nya. Hukum Acara yang berlaku di hukum industrial, diatur dalam UU PHI, ditambahkan dengan kuasanya di persidangan bahkan mencabut kuasa nya tidak ada larangan. Namun pokok perkara, tetap mengikuti kuasa pertama dalil dalilnya," terangnya
Apabila pekerja buruh tidak bekerja, tidak bayar upahnya. Namun di UU ketenagakerjaan ada huruf b dan c.
" Sementara, pekerja mau melakukan pekerjaan dan pengusaha tidak mau membayar, itu wajib dibayar," pungkasnya
[red/jmp]
Social Header