Breaking News

JAM-Pidum Setujui 7 Restorative Justice, Salah Satunya Perkara Penadahan di Palu

JAKARTA (11/06) || jurnalismerahputih.com - Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 7 (tujuh) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Rabu, 11 Juni 2025.

Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Sutarman alias Anto dari Kejaksaan Negeri Palu yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.

Kronologi bermula pada tanggal 10 April 2025 pukul 15.00 WITA, Tersangka Sutarman alias Anto di Bengkel Body tempat Tersangka bekerja tepatnya di Jl. Kamboja, Kelurahan Besusu Tengah, Kota Palu telah melakukan tindak pidana Penadahan dengan cara membeli barang berupa 1 (satu) unit sepeda motor merek Honda Revo warna silver Nomor Rangka: MH1HB61187K140880 Nomor Mesin: HB61E1143038 tanpa dilengkapi surat kendaraan bermotor dan bukti kepemilikan yang sah.

Sebelumnya sepeda motor tersebut telah diambil oleh Saksi Andika Pratama alias Reno (dalam berkas perkara terpisah) tanpa sepengetahuan dan seijin Saksi Korban Onny Sutarno, KP.

Kemudian Saksi Andika Pratama alias Reno menawarkan melalui Facebook dan dibeli oleh Tersangka dengan harga sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah). 

Selanjutnya sepeda motor tersebut Tersangka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. 

Bahwa akibat dari perbuatan Tersangka Sutarman alias Anto menyebabkan kerugian Saksi Korban Onny Sutarno,KP sebesar Rp7.000.000 (tujuh juta rupiah) atau setidak-tidaknya dalam jumlah tersebut.

Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Palu Mohamad Rohmadi, S.H., M.H, Kasi Pidum Inti Astutik, S.H., M.H dan Jaksa Fasilitator Rhenita Tuna, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.

Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Lalu Saksi Korban meminta agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan.

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Palu mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Plt. Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Zulfikar Tanjung, S.H., M.H.

Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Rabu 11 Juni 2025.

Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 6 (enam) perkara lain yaitu:
Tersangka Andre Hermanto dari Kejaksaan Negeri Mataram, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian dan Pasal 367 Ayat (2) KUHP tentang Pencurian dalam Keluarga.

Tersangka I Dewi Handayani, Tersangka II Suyatno alias Yatno dan Tersangka III Nur Indah Sari dari Kejaksaan Negeri Mataram, yang disangka melanggar Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Pengeroyokan dan Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

Tersangka Reni Anggriani dari Kejaksaan Negeri Dompu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

Tersangka Soniriana Zai alias Ina Loig dari Kejaksaan Negeri Gunung Sitoli, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

Tersangka Mawati Hulu alias Ina Caya dari Kejaksaan Negeri Gunung Sitoli, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

Tersangka Loide Sirait dari Kejaksaan Negeri Simalungun, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
Tersangka belum pernah dihukum;
Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
Pertimbangan sosiologis;
Masyarakat merespon positif.

“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.

[red/jmp]
© Copyright 2022 - JURNALIS MERAH PUTIH